ADC, Inovasi Terapi Baru Pasien Kanker
A
A
A
JAKARTA - Secara global, lebih dari 62 ribu orang terdiagnosis kanker limfoma Hodgkin, di mana sekitar 25 ribu di antaranya meninggal setiap tahun. Di Indonesia, angka limfoma hodgkin pada 2012 mencapai 1.168 dengan jumlah kematian 687.
Menurut data Globocan, angka ini diprediksi akan mengalami peningkatan di 2020 dengan kasus baru sebesar 1.313 serta angka kematian sebesar 811.
Angka kematian ini berhubungan dengan keterlambatan pendeteksian sehingga sebagian besar kasus kanker sudah berada pada stadium lanjut.
Padahal, 80% kanker limfoma hodgkin dapat disembuhkan jika dideteksi secara dini. Hingga kini, terdapat beberapa opsi pengobatan penyakit ini di Indonesia. Salah satunya inovasi berupa pengobatan Antibody Drug Conjugate (ADC) yang dikategorikan sebagai terapi bertarget (targeted therapy).
"Terapi bertarget dapat membantu mengirimkan agen yang kuat ke sel kanker yang menjadi target terapi ini, sekaligus meminimalisir paparan kepada sel yang tidak tertargetkan," kata Dody Ranuhardy, dokter spesialis penyakit dalam sekaligus Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hematologi-Onkologi Medik (Perhompedin) Indonesia.
ADC terdiri dari sejumlah terapi kanker bertarget yang telah menunjukkan keberhasilan dalam berbagai jenis kanker, salah satunya limfoma hodgkin dengan kondisi relaps dan refrakter. Jenis obat ini diakui Dody sudah ditunggu sejak lama untuk diberikan pada pasien kanker limfoma hodgkin di Indonesia.
Dody akan melakukan percobaan targeted cell dengan ADC untuk dua pasiennya di Rumah Sakit Dharmais Jakarta. Selanjutnya, pasien kanker akan menjalani pengobatan targeted cell ADC ini selama 6-8 siklus dengan jeda waktu tiga pekan dan pengobatan akan dievaluasi setelah melalui tiga siklus.
"Ini ringkas sebenarnya. Cuma tergantung individu masing masing-masing responsnya lambat atau cepat," jelas dia.
Sama seperti obat lainnya, pengobatan ini juga menyebabkan efek samping. Di Eropa dan Amerika misalnya, telah berhasil menerapkan pengobatan ini, di mana munculnya gangguan saraf tepi atau neouropati yang ringan seperti kesemutan. Meski demikian, efek samping tergantung dengan setiap kondisi tubuh pasien.
"Ini tergantung dengan kondisi pasien. Karena daya tahan tubuh orang Indonesia berbeda dengan orang Amerika dan Eropa," ujarnya.
Perusahaan obat asal Jepang yang memproduksi ADC, Takeda mengklaim pengobatan ini berhasil mencapai 70%. Saat ini, Takeda tengah melakukan penelitian ADC untuk pengobatan kanker limfoma hodgkin lini pertama.
"Kami berusaha untuk bisa bekerjasama dengan pemerintah (BPJS)," kata Presiden Direktur PT Takeda Indonesia, Kwa Kheng Hoe.
Menurut data Globocan, angka ini diprediksi akan mengalami peningkatan di 2020 dengan kasus baru sebesar 1.313 serta angka kematian sebesar 811.
Angka kematian ini berhubungan dengan keterlambatan pendeteksian sehingga sebagian besar kasus kanker sudah berada pada stadium lanjut.
Padahal, 80% kanker limfoma hodgkin dapat disembuhkan jika dideteksi secara dini. Hingga kini, terdapat beberapa opsi pengobatan penyakit ini di Indonesia. Salah satunya inovasi berupa pengobatan Antibody Drug Conjugate (ADC) yang dikategorikan sebagai terapi bertarget (targeted therapy).
"Terapi bertarget dapat membantu mengirimkan agen yang kuat ke sel kanker yang menjadi target terapi ini, sekaligus meminimalisir paparan kepada sel yang tidak tertargetkan," kata Dody Ranuhardy, dokter spesialis penyakit dalam sekaligus Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hematologi-Onkologi Medik (Perhompedin) Indonesia.
ADC terdiri dari sejumlah terapi kanker bertarget yang telah menunjukkan keberhasilan dalam berbagai jenis kanker, salah satunya limfoma hodgkin dengan kondisi relaps dan refrakter. Jenis obat ini diakui Dody sudah ditunggu sejak lama untuk diberikan pada pasien kanker limfoma hodgkin di Indonesia.
Dody akan melakukan percobaan targeted cell dengan ADC untuk dua pasiennya di Rumah Sakit Dharmais Jakarta. Selanjutnya, pasien kanker akan menjalani pengobatan targeted cell ADC ini selama 6-8 siklus dengan jeda waktu tiga pekan dan pengobatan akan dievaluasi setelah melalui tiga siklus.
"Ini ringkas sebenarnya. Cuma tergantung individu masing masing-masing responsnya lambat atau cepat," jelas dia.
Sama seperti obat lainnya, pengobatan ini juga menyebabkan efek samping. Di Eropa dan Amerika misalnya, telah berhasil menerapkan pengobatan ini, di mana munculnya gangguan saraf tepi atau neouropati yang ringan seperti kesemutan. Meski demikian, efek samping tergantung dengan setiap kondisi tubuh pasien.
"Ini tergantung dengan kondisi pasien. Karena daya tahan tubuh orang Indonesia berbeda dengan orang Amerika dan Eropa," ujarnya.
Perusahaan obat asal Jepang yang memproduksi ADC, Takeda mengklaim pengobatan ini berhasil mencapai 70%. Saat ini, Takeda tengah melakukan penelitian ADC untuk pengobatan kanker limfoma hodgkin lini pertama.
"Kami berusaha untuk bisa bekerjasama dengan pemerintah (BPJS)," kata Presiden Direktur PT Takeda Indonesia, Kwa Kheng Hoe.
(tdy)